PERLINDUNGAN GURU

 

https://www.youtube.com/watch?v=f8B9Xm9CGS0

Terkait kekerasan yang dilakukan oleh seorang oknum guru yang mencukur rambut siswanya dengan cara asal-asalan, saya sampaikan bahwa mencukur rambut siswa dengan cara asal asalan tidak boleh dilakukan, karena itu bagian dari tindak kekerasan terhadap anak, sebagaimana yang dilarang di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Saya yakin bahwa apa yang dilakukan oknum guru tersebut bertujuan baik, dengan maksud untuk mendidik siswa agar rambutnya terlihat rapih, namun yang menjadi catatan adalah caranya saja yang salah, yaitu mencukur dengan cara asal asalan dan mengakibatkan kepala siswa menjadi botak tidak rata, dan inilah yang pada akahirnya menjadi bagian dari tindak kekerasan. Kalau saja rambut siswa itu dicukur dengan rapi, maka barulah bisa dikatakan mendidik dan dapat dikatakan sebagai pendisiplinan siswa, dalam artian mendidik tanpa kekerasan. Sahabatku semua, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Sahabatku semua kita tentu tahu bahwa terjadinya tindak kekerasan dalam lingkungan atau satuan pendidikan pada dasarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, seperti guru/pendidik melakukan kekerasan terhadap siswanya atau sebaliknya siswa melakukan kekerasan terhadap gurunya, kemudian ada juga orang tua siswa melakukan kekerasan terhadap guru/pendidik/tenaga kependidikan. Salah satu contoh kasus kekerasan yang belum lama terjadi yaitu kekerasan terhadap salah satu guru SMA Negeri 7 di Rejang Lebong Bengkulu yang diduga dilakukan oleh orang tua siswa, terjadinya kekerasan tersebut bermula ketika guru menegur siswanya yang merokok, dan orang tua siswa tidak terima atas perlakuan guru terhadap anaknya, dan teguran tersebut justru ditanggapi berbeda oleh orang tua siswa dengan cara melakukan kekerasan/penganiayaan tehadap guru yang bersangkutan. Perlu diketahui bahwa di dalam peraturan pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentan guru, pada pasal 39 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis, maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya”. Sanksi yang dimaksud dapat berupa teguran, peringatan lisan maupun tulisan, dan hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kode etik guru dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi yang paling harus di garis bawahi adalah hukuman yang diberikan kepada siswa adalah hukuman yang bersifat mendidik.

Kemudian bagaimana jika orang tua siswa tidak terima atas perlakuan guru terhadap anaknya dan kemudian membalas guru/pendidik dengan cara kekerasan, seperti memukul, menampar, menendang guru dan lain-lain, maka ketika guru atau pendidik di dalam melaksanakan tugasnya mengalami atau mendapatkan tindakan kekerasan oleh siswa, oleh orang tua siswa, atau dilakukan oleh orang-orang yang ada dalam satuan pendidikan, maka pada dasarnya guru juga di lindungi oleh undang-undang. Secara umum dilindungi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan secara khusus perlindungan guru terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Perlindungan sebagaiman dimaksud yaitu perlindungan dari tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Hal ini tercantum di dalam Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Jadi baik siswa/peserta didik, maupun guru/pendidik dan semua yang ada dilingkungan satuan pendidikan juga mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan.

Kemudian di Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2017 tentang guru, pada Ayat (1) guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta diditk, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihal lain. Kemudian perlindungan terhadap guru/pendidik juga diatur di Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 tahun 2017 tentang perlindungan bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Perlindungan sebagaimana dimaksud yaitu perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, dan/atau ha katas kekayaan intelektual. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminasi, intimidasi, dan/atau perlakuan tidak adil. Kemudian ada juga peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Salah satu maksud dari permendikbudristek ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a yaitu melindungi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Dengan adanya permendikbudristek ini diharapkan akan tercipta lingkungan satuan pendidikan yang ramah, aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan warga satuan pendidikan lainnya.

Kemudian perlu diketahui juga bahwa apabila kekerasan dilakukan oleh siswa/peserta didik kepada gurunya, maka proses hukumnya berbeda dengan orang dewasa. Untuk anak yang melakukan tindak pidana maka proses hukumnya menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kenapa berbeda? Karena pelaku masih dikategorikan sebagai anak. Selain itu berdasarkan Pasal 57 ayat (2) peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan. Dalam pasal tersebut sanksi yang diberikan terhadap peserta didik/siswa yang melakukan kekerasan akan diberikan sanksi administrative yang berprinsip pada sanksi bersifat mendidik, tetap memenuhi hak pendidikan peserta didik, melindungi kondisi psikis peserta didik, membangun rasa bertanggungjawab peserta didik, dan berpedoman pada ketentuan mengenai perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian bagaimana jika kekerasan dilakukan oleh orang tua siswa kepada guru/pendidik, jika pelaku kekerasan adalah orang tua siswa, maka sanksi hukumnya berdasarkan akibat hukum yang dilakukannya, misalnya orang tua murid memukul/menampar guru hingga luka-luka, maka pelaku bisa dijerat dengan pasal tentang penganiayaan. Jika kekerasan dilakukan melalui media elektronik, maka sanksi yang diberikan berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jadi ketika guru/pendidik mengalami kekerasan dari orang tua siswa, maka guru bisa menempuh jalur hukum dengan membuat pengaduan kepada pihak berwajib, atau bisa diselesaikan dengan mengutamakan jalur kekeluargaan. Oleh karena itu langkah awal agar tidak terjadi kekerasaan dalam satuan pendidikan, diperlukan kerja sama berbagai pihak, dan saat ini sudah ada peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan.

Sahabatku sekalian dari apa yang saya sampaikan, pada dasarnya setiap orang dalam satuan pendidikan mendapatkan perlindungan yang sama dari tindak kekerasan. Namun jika kekerasan yang dilakukan hanya kekerasan ringan saja, dalam artian tanpa ada luka, maka cara penyelesaiannya hendaknya dilakukan dengan cara kekeluargaan atau melalu jalur musyawarah.

Demikian ,semoga bermanfaat

Alih Usman (Bang Ali)

Penyuluh Hukum


Cetak   E-mail

Related Articles

KADARKUM

LOMBA KADARKUM BAGIAN 1