PERLINDUNGAN DAN PROSES HUKUM TERHADAP ANAK SD DI GRESIK

https://www.youtube.com/watch?v=qv-dREtLMa8

Terjadinya kekerasan atau perundungan di lingkungan satuan pendidikan yabg terjadi di salah satu sekolah dasar di daerah Gresik. Dimana korban merupakan siswi kelas 2 SD, dari informasi yang beredar baik dimedia elektronik maupun di media sosial, bahwa siswi SD tersebut mendapatkan kekerasan atau perundungan yang dilakukan oleh kaka kelasnya. Kekerasan atau perundungan yang dilakukan kaka kelasnya pada tanggal 7 Agustus 2023, diman pelaku meminta sejumlah uang jajan dan kemudian tidak diberikan, karena tidak diberikan pelaku kemudian menganiaya korban dengan cara mencolok mata korbannya dengan tusuk bakso, sehingga mengakibatkan mata korban luka dan mengalami kebutaan. Ini berdasarkan informasi yang beredar di media elektornik, maupun di media sosial.

Sahabatku semua, perlu diketahui bahwa ketika seorang anak menjadi korban tindak pidana, seperti dalam kasus ini, dimana anak menjadi korban kekerasan atau perundungan atau bullying oleh temannya sendiri, maka anak yang menjadi korban kekerasan tersebut mendapat perlindungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Pada dasarnya berdasarkan undang-undang tersebut, pada Pasal 54 bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Perlindungan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat. Dari Ketentuan Pasal ini jelas sekolah, kepala sekolah juga mempunyai kewajiban memberikan perlidungan tehadap anak didiknya dari tindak kekerasan.

Selain itu saat ini juga sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang telah diundangkan pada tanggal 4 Agustus 2023. Salah satu upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d yaitu bertujuan agar peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya yang mengalami kekerasan bisa segera mendapatkan penanganan dan bantuan yang menyeluruh. Jadi pada dasarnya aturan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sudah seharusnya dilaksanakan oleh satuan pendidikan.

Kemudian bagaimana proses hukum terhadap anak yang melakukan kekerasan atau perundungan tersebut yang akibat dari perbuatannya telah mengakibatkan mata korban menjadi buta. Sahabatku semua, ketika ada anak yang melakukan tindak pidana, seperti dalam kasus ini, anak mencolok mata temannya dan mengakibatkan kebutaan pada matanya, maka proses hukumnya berbeda dengan orang dewasa, untuk anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, proses hukumnya menggunakan Ketentuan. Salah satu substansi dari undang-undang tersebut yaitu mengatur tentang upaya diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. System peradilan pidana ini wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Yang dimaksud dengan keadilan restoratif berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan PIdana Anak. Yang dimaksud dengan keadilan retoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil d engan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Sahabatku semua perlu diketahui bahwa ketika anak sebagai pelaku tindak pidana, maka anak tersebut dikatakan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. pengertian anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sedangkan anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Larangan melakukan kekerasan terhadap anak tercantum di dalam Dalam Pasal tersebut dikatakan “setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.” Kemudian bagaimana sanksi bagi pelaku anak yang telah melakukan kekerasan dan mengakibatkan korban atau temannya luka berat. Sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak tersebut yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus Juta rupiah). Ketentuan ini tercantum di dalam Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

Sahabatku semua seperti yang telah saya sampaikan diawal bahwa ketika anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, dan anak sebagai saksi tindak pidana, maka proses hukum menggunakan Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dan salah satu substansi dari undang-undang tersebut adalah mengatur tentang upaya diversi. Jadi pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Diversi ini dilakukan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Jadi dari kasus yang terjadi ini dapat dilihat bahwa ancaman pidana dibawah 7 tahun dan jika anak atau pelaku tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana, maka penyelesaian dalam kasus ini wajib diupayan diversi. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Proses diversi ini dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Dalam hal diperlukan musyawarah diversi dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat. Kesepakatan diversi ini tentu harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan. Akan tetapi jika dilihat dari umur anak, misalkan pelaku atau anak yang diduga melakukan kekerasan tersebut yang mengakibatkan mata siswi kelas 2 SD buta, dan ternyata pelaku belum berumur 12 (dua belas) tahun, maka berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional mengambil keputusan untuk; menyerahkan kembali kepada orang tuanya/walinya; dan mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik ditingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

Sahabatku sekalian demikian tentang perlindungan dan proses hukm terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan anak sebagai korban tindak pidana yang terjadi di salah satu sekolah SD di gresik. Semoga kasus kasus ini menjadi pelajaran dan menjadi perhatian bagi semua satuan pendidikan yang ada, jangan sampai hal ini tejadi lagi. Oleh karena itu satuan pendidikan hendaknya menjalankan kewajibannya dalam memberikan perlindungan terhadap anak didiknya, selain itu juga melaksanakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Demikian semoga bermanfaat wassalaamu’alaikum wr wb.

Alih Usman (Bang Ali)

Penyuluh Hukum

           


Cetak   E-mail

Related Articles

KADARKUM

LOMBA KADARKUM BAGIAN 1